Jangan disangka bahwa seseorang yang berilmu sudah otmatis
terlindungi dari kebodohan dan terlepas dari godaan. Meskipun orang
berilmu berada di tingkatan yang lebih tinggi daripada makhluk-makhluk
lain, ia juga tetap menghadapi godaan yang tidak kalah besar. Bahkan
godaan orang yang berilmu jauh lebih besar dibandingkan godaan
orang-orang selainnya. Begitu pula dalam akibatnya, bila ia berhasil
maka jadilah ia orang yang paling takut [dekat] di sisi Allah. “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.”
[QS. Al-Fathir: 28]. Dan sebaliknya, ketika ia gagal dalam menghadapi
godaan, maka ia hanya menjadi penyebab kerusakan di muka bumi. Dia
jugalah yang disinyalir oleh Rasulullah SAW sebagai manusia selain
Dajjal lebih ditakuti –karena sangat halus geraknya– dari pada Dajjal
itu sendiri. Rasul SAW ditanya, “Siapakah mereka wahai Rasulallah?” “Mereka adalah ulama-ulama yang jahat (‘ulama’ al-su’i).” (Muslim: 5/145).
Apa saja godaan orang berilmu?
Yang pertama adalah harta benda atau duniawi. Ini adalah cobaan yang
paling ringan. Orang yang berilmu seringkali dihadapkan pada
pilihan-pilihan yang terkadang menyulitkan. Ketika seseorang menjadi
ilmuwan, maka dengan sendirinya harta dunia itu datang. Kesempatan
orang yang berilmu dalam mendapatkan dunia lebih besar daripada orang
yang tidak berilmu. Di sinilah orang yang berilmu digoda. Apakah ilmu
yang dimilikinya bisa menagtur nafsu syahwatnya [yang cenderung pada
dunia]? Ataukah sebaliknya, nafsu syahwatnyalah yang menjadi pengatur
ilmunya?
Apakah yang terakhir ini bisa terjadi pada orang yang berilmu? Bagaimana bisa?
Memang tidak salah bila orang berilmu mendapatkan harta dunia dari
ilmu-ilmunya. Tidak salah bila seorang dokter mendapatkan upahnya. Pun
tidak salah bagi seorang guru/dosen mendapatkan bisyarahnya. Namun yang
disalahkan adalah bila ilmu dijadilakn legitimasi dari
keinginan-keinginan duniawinya. Yang salah adalah dokter yang
menyalahgunakan keilmuannya demi sejumlah rupiah. Yang berbahaya adalah
ulama/ilmuwan/cendekiawan yang memanfaatkan kedalaman ilmu [baca
penegtahuan] nya demi sejumlah harta. Kalau apa yang dibuat oleh dokter
dalam penyahgunaannya mungkin menyebabkan malpraktek, atau paling parah
bisa menyebabkan kematian fisik manusia, maka kesalahan ulama terhadap
penyalahgunaan ilmunya bisa lebih berbahaya dari sekedar kematian
fisik. Kesalahan bisa menyebabkan kebingungan umat serta menjadi
penyulut para hamba Allah untuk bermaksiat kepada-Nya. Yang paling
berbahaya adalah tingkah ulama ini bisa juga menghancurkan akidah umat.
Hal tersebut bisa terjadi hanya karena kecenderungannya pada harta
benda.
Godaan yang kedua adalah kehormatan dan nama baik di mata makhluk.
Ini adalah penyakit jiwa. Mungkin saja orang berilmu terhindar dari
godaan harta yang hina karena ketampakannya, maka ia tidak begitu saja
lepas dari godaan kedua yang halus ini. Ia adalah godaan yang lembut
dalma jiwa manusia. Kecenderungan orang yang berilmu setelah penguasaan
yang mendalam dalam keilmuan adalah keinginan untuk dihormati. Ia
merasa berhak dengan penghormatan semua makhluk karena ketinggian
ilmunya.
Bila cinta/gila hormat dari makhluk ini dibiarkan begitu saja, maka
orang berilmu akan terjangkit pada penyakit ketiga yang paling
berbahaya, yaitu kesombongan. Pada godaan ini, orang berilmu memang
tidak lagi berhadapan dengan harta dunia. Mungkin saja ia berhasil
melewati harta dunia. Tapi kesombongan adalah hal yang sangat halus
yang masuk ke dalam jiwa manusia. Bila orang yang berilmu lengah
sedikit saja, ia akan dimasuki rasa ini. “Bahwa akulah orang yang
paling berilmu. Bahwa akulah orang yang paling dekat di sisi Allah.
Tidak ada orang yang lebih alim dariku.” Begitu kira-kira godaan yang
ada di dalam hatinya.
Akibatnya, ia akan menyepelekan orang lain, mengaggap orang lain
lebih bodoh dan rendah, serta enggan menolak apa yang datang dari orang
lain, walau itu suatu yang benar. Ia mengaggap bahwa ia adalah
segala-galanya, yang lebih mengetahui dan memahami setiap sesuatu
dibanding lainnya.
Pada tahap yang lebih berbahaya adalah penolakan orang berilmu pada
keberadaan Allah dan kenyataan akan kebesaran-Nya. Ia tiada segan untuk
menafikan Allah dalam kehidupannya. Ia hanya mengagungkan ilmunya. Ia
lupa kepada Sang Pemberi ilmu, Sang Mahatahu. “Kemudian apabila
Kami berikan kepadanya nikmat dari Kami, ia berkata, ‘Sesungguhnya aku
diberi nikmat ini hanya karena kepintaranku.’ Sebenarnya itu adalah
ujian, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” [QS. Al-Zumar: 49]. Na’udzubillah. Padahal, apa yang diketahui oleh manusia hanyalah setetes dari luasnya samudera pengetahuan Allah.
Sejatinya, ilmu adalah perantara yang menagntarkan kita semua pada
kedekatan kepada-Nya. Itu pula yang diisyaratkan oleh al-Qur`an. Karena
tujuan sejati dalam pencarian ilmu adalah pendekatan kepada-Nya. Orang
yang berilmu adalah orang yang paling bertakwa. Dan barang siapa yang
bertakwa maka Allah akan lebih mencurahkan ilmu-Nya. [QS. Al-Baqarah:
282]. Bukan harta, kehormatan, maupun kesombongan yang diharapkan dari
orang-orang yang berilmu.
Maka, marilah kita menjadi padi, semakin berisi ia akan semakin
merunduk. Semakin berilmu sudah semestinya membawa kita pada ketundukan
kepada Allah, serta membawa kita pada kesadaran pada kita tidak ada
apa-apanya dibanding kekuasaan Allah. Ilmu kita tidak ada bandingannnya
dengan ilmu Allah, bahkan seujung kuku pun. Ya Allah, zidni ilman warzuqni fahman.
SUMBER
0 Comments:
Post a Comment
Silahkan Tinggalkan Komentar Anda Demi Kemajuan Kita Bersama